Sabtu, 12 Mei 2012

Ringkasan Isi BAB "Berpikir Induktif dan Deduktif"

Bab Induksi

1.      Pendahuluan

Dalam bab ini telah dikemukakan dasar-dasar bagi jalan pikiran atau proses penalaran sebagai landasan bagi argumentasi.dasar-dasar itu meliputi pengertian inferensi, implikasi, evidensi, dan cara menilai fakta dan evidensi utuk dipergunakan dalam sebuah argumentasi.

Proses penalaran atau jalan pikiran manusia pada hakikatnya sangat kompleks dan rumit, dan dapat terdiri dari suatu mata rantaievidensi dan kesimpulan-kesimpulam.karena kekompleksan dan kerumitan itulah maka tidak mengherankan bila ahli-ahli logika dan psikolog tidak selalu sepakat mengenai beberapa unsur dari proses penalaran itu.

2.      Induksi

Induksi adalah suatu proses berpikir yang bertolak dari satu atau sejumlah fenomena individual untuk menurunkan suatu kesimpulan(Inferensi). Proses penalaran juga disebut sebagai corak berpikir yang ilmiah.

Proses penalaran induktif dapat dibedakan atas bermacam-macam variasi yaitu: generalisasi, hipotese dan teori, analogi induktif, kausal dan sebagainya.

3.      Generalisasi

Generalisasi adalah suatu proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomenal individual untuk menurunkan suatu inferensi yang bersifat umum yang mencakup semua fenomena.

a.      Loncatan Induktif

Dalam loncatan induktif suatu fenomena belum mencerminkan seluruh fakta yang ada. Fakta-fakta tersebut yang digunakan dianggap sudah mewakili seluruh persoalan yang diajukan. Dengan demikian loncatan induktif dapat diartikan sebagai loncatan dari sebagian evidensi kepada suatu generalisasi yang jauh melampauikemungkinan yang diberikan oleh ebidensi itu.

b.      Tanpa Loncatan Induktif

Sebuah generalisasi tidak mengandung loncatan induktif bila fakta-fakta yang diberikan cukup banyak dan menyakinkan, sehingga tidak terdapat peluang untuk menyerang kembali. Perbedaan generalisasi dengan loncatan induktif dengan tanpa loncatan induktif terletak pada persoalan jumlah fenomena yang diperlukan.

Generalisasi merupakan proses yang biasa dilakukan oleh setiap orang. Generalisasi pada kebanyakan orang terjadi karena pengalama, maka jarang seorang awam memikirkan adanya proses jalan pikiran yang bersifat induktif yang tercakup didalamnya. Generalisasi bagi orang awam adalah suatu proses berfikir yang mendahului penyelidikan atas fenomen-fenomena yang khusus dala jumlah yang cukup banyak untuk menuju pada suatu kesimpulan umum mengenai semua hal yang terlibat. Sebaliknya bagi seorang peneliti generalissasi harus didahului bukan mendahului penyelidikan atas sejumlah fenomena. Ia harus mengadakan observasi, penyelidikan dengan penuh kesadaran dan bersikap objektif untuk sampai kepada sebuag generalisasi.

Proses untuk merumuskan sebuah generalisasi dapat digambaran sebagai berikut:

  


Generalisasi

Suatu Corak Penalaran Induktif


Pengujian atau evaluasi generalisasi terdiri dari:

1)      Harus diketahui apakah sudah cukup banyak jumlah peristiwa yang diselidiki sebagai dasar generalisasi (ciri kuantitatif).

2)      Apakah peristiwa merupakan contoh yang baik (ciri kualitatif).

3)      Memperhitungkan kecualian yang tidak sejalan dengan generalisasi.

4)      Perumusan generalisasi harus absah.

4.      Hipotese dan Teori

Hipotese adalah semacam teori atau kesimpulan yang diterima sementara waktu untuk menerangkan fakta-fakta tertentu dalam penuntuk dalam penelitian fakta lebih lanjut. Sebaliknya teori merupakan hipotese yang relatif lebih kuat sifatnya bila dibandingkan dengan hipotese. Teori adalah azas yang umum dan abstrak yang diterima secara ilmiah dan sekurang-kurangnya dapat dipercaya untuk menerangkan fenomena-fenomena yang ada. Hipotese merupakan suatu dugaan yang bersifat sementara mengenai sebab-sebab atau relasi fenomena-fenomena, sedangkan teori merupakan hipotese yang telah diuji dan dapat diterapkan pada fenomena yang relevan atau sejenis.

Untuk merumuskan hipotese yang baik perhatikan ketentuan berikut:

1)      Memperhitungkan semua evidensi yang ada

2)      Bila tidak ada alasan lain, maka antara dua hipotesa yang mungkin diturunkan, lebih baik memilih hipotesa yang sederhanan daripada yang rumit.

3)      Sebuah hipotese tidak pernah terpisah dari semua pengetahuan dan pengalaman manusia

4)      Hipotese buka hanya menjelaskan fakta-fakta yang membentuknya,tetapi harus menjelaskan fakta-faktasejenis yang belum diselidiki.

5.      Analogi

Analogi induktif adalah suatu proses penalaran yang bertolak dari dua peristiwa khusus yang mirip satu sama lain.

Analogi sebagai suatu proses penalaran yang menurunkansuatu kesimpulan berdasarkan kesamaan aktual antara dua hal dapat diperinci lagi untuk tujuan berikut:

1)      Untuk meramalkan kesamaan

2)      untuk menyingkapkan kekeliruan

3)      untuk menyusun sebuah klarifikasi

6.      Hubungan Kasual

pada umumnya hubungan kasual dapat berlangsung dalam tiga pola berikut: sebak ke akibat, akibat ke sebab, akibat ke akibat.

a)      Sebab ke Akibat

Hubungan sebab ke akibat mula-mula bertolak dari suatu peristiwa yang dianggap sebagai sebab yang diketahui, kemudian bergerak maju menuju kepada suatu kesimpulan sebagai efek atau akibat yang terdekat.

b)     Akibat ke Sebab

Hubungan akibat ke sebab merupakan suatu proses berfikir yang induktif juga dengan berolak dari suatu peristiwa yang dianggap sebagai akibat yang diketahui, kemudian menuju sebab-sebab yang mungkin telah menimbulkan akibat.

c)      Akibat ke Akibat

Proses penalaran yang berproses dari suatu akibat menuju suatu akibat yang lain, tanpa menyebut atau mencari sebab umum yang menimbulkan kedua akibat.

7.      Induksi Dalam Metode Eksposisi

Pada hakikatnya semua metode merupakan proses penalaran yang dapat dimasukan dalam salah satu corak penalaran utama

Metode identifikasi merupakan perumusan katagorial mengenai faktayang diketahui mengenai suatu obyek garapan.

Metode perbandingan bisa mencakup penalaran yang induktif maupun deduktif.

Metode klarifikasi mencakup kedua-duanya. Bila klarifikasi bertolak dari pengelompokan kedalam suatu kelasberdasarkan ciri yang sama, maka ia merupakan induksi.

Dengan demikian metode yang telah diuraikan dalam eksposisi sekaligus jugadapat dimanfaatkan dalam argumentasi. 


Bab Deduksi

1.      Pengertian Deduksi

Deduksi berasal dari kata latin deducere (de yang berarti ‘dari’, dan decere yang berarti ‘menghantar’,’memimpin’). Dengan demikian deduksi yang diturunkan dari kata itu berarti ‘menghantar dari suatu halke suatu hal yang lain’. Sebagai suatu istilah dalam penalaran, deduksi merupakan suatu proses berpikir yang bertolak dari suatu proposisi yang sudah ada, menuju suatu proposisi baru yang menuju suatu kesimpulan.

uraian mengenai proses berpikir yang deduktif akan dilangsungkan melalui beberapa corak berpikir deduktif, yaitu: silogisme, katagorial, silogisme hipotesis, silogisme disjungtif, atau silogisme alternatif, entimen, rantai deduktif, dan teknikpengujian kebenaran atas tiap corak penalaran deduktif.

2.      Silogisme Katagorial

a.      Pengertiam

Yang dimaksud silogisme adalah proses penalaran yang menghubungkan dua proposisi(pernyataan) yang berlainan untuk menurunkan suatu kesimpulan atau inferensi yang merupakan proposisi yang ketiga.

Secara khusus silogisme kategorial dapat dibatasi suatu argumen deduktif yang mengandung suatu rangkaian yang terdiri dari tiga proposisi kategorial.

b.      Proposisi Silogisme

Dalam silogisme terdapat tiga term yaitu:

1)      Premis mayor adalah suatu premis yang mengandung term mayor silogisme itu.

2)      Premis minor adalah premis yang mengandung term minor dari silogisme itu.

3)      Kesimpulan adalah proposisi yang mengatakan, bahwa apa yang benar tentang seluruh kelas, juga akan benar atau berlaku pada anggota tertentu.

c.       Kesahihan dan Kebenaran

Untuk menilai suatu silogisme harus dibedakan dua pengertian yang sering dikacaukan, yaitu kesahihan(validitas;keabsahan) dan kebenaran. Bentuk logis silogisme ditentukan oleh:

1)      Bentuk logis dari pernyataan-pernyataan katagorial dalam silogisme.

2)      Cara penyusunan term dalam masing-masing pernyataan dalam silogisme.

Dengan menggunakan simbol-simbol, figur silogisme dinyatakan sebagai S−P, O−S, O−P

Dengan menggunakan lambang diatas, maka figur yang diperoleh dari silogisme terdiri dari empat macam, yaitu:


Figur 1

S−P

O−S

O−P


Figur 2

P−S

O−S

O−P


Figur 3

S−P

S−O

O−P


Figur 4

P−S

S−O

O−P


d.      Menguji Validasi

untuk pengujian silogisme dapat digunakan diagran venn. Karena silogisme mengandung tiga term yang berbeda, maka untuk menguji validasi dapat digunakan tiga lingkaran. Jumlah area yang dihasilkan berjumlah 8 buah, termasuk area diluar lingkaran

secara singkat dapat dikemukakan sekali lagi, bahwa untuk membuktikan kesahihan dan tidak kesahihan suatu silogisme dengan diagram venn, mula-mula tempatkan silogisme dalam bentuk standar. Kemudian buat tiga lingkaran yang tumpang tindih dan menghasilkan 8 daerah. Tipa area sesuai dengan term-term silogisme. Setelah itu nyatakan premis universal dengan memberi bayangan, kemudian tentukan premis partikular dengan menggunakan tanda silang. Jika diagram menyatakan dengan tepat silogisme, maka silogisme tersebut valid, bila silogisme terakhir tidak menyatakan kesimpulan, maka silogisme invalid.

e.       Kaidah-Kaidah Silogisme Kategorial

Dengan menerima pandangan hipotesis maka silogisme berikut merupakan bentuk yang sahih:

Figur 1

Figur 2

Figur 3

Figur 4

AAA

AEE

AII

AEE

EAE

EAE

EIO

EIO

AII

AOO

IAI

IAI

EIO

EIO

OAO



Dengan mempelajari bentuk-bentuk silogisme yang valid diatas, kita dapat merumuskan sebuah kaidah yang akan menjamin kebenaran silogisme itu, kalau kaidah itu dituruti secara seksama.

3.      Silogisme Hipotesis

Silogisme hipotesis atau silogisme pengandaian adalah semacam pola penalaran deduktif yang mengandung hipotesis. Silogisme hipotesis bertolak dari suatu pendirian, bahwa ada kemungkinan apa yang disebut dalam proposisi tidak ada. Premis mayonya bersifat hipotesis.

Walupun premis mayor bersifat hipotesis, premis minor dan konklusinya bersifat kategorial.

4.      Silogisme Alternatif

Silogisme alternatif atau silogisme disjungtif. Dosebut demikian karena premis mayornya merupakan sebuah proposisi alternatif, yaitu proposisi yang mengandung kemungkinan atau pilihan. Sebaliknya proposisi minornya adalah proposisi kategorial yang menerima atau menolok suatu alternatif. Konklusinya tergantung dari premis minornya.

5.      Entimen

Silogisme sebai cara untuk menyatakan pikiran yang bersifat artifisial. Dalam kehidupan sehari-hari silogisme ini muncul hanya dalam dua proposisi, salah satunya dihilangkan.

Persoalan dalam sebuah argumentasi adalah bagaimana menganalisa dan melakukan kebenaran atau menunjukan kekeliruan penalaran orang lain.

6.      Rantai Deduksi

Seringkali penalaran deduktif dapat berlangsung lebih informal dari entimen. Orang tidak berhenti dari sebuah silogisme saja, tetapi dapat pula merangkai beberapa silogisme yang tertuang dalam bentuk yang informal.

Dalam kenyataan penalaran deduktif dan induktif memberi pengaruh timbal balik, sebab penalaran bergerak melalui proses yang kompleks, dengan menilai evidensi yang ditimbulkan oleh situasi tertentu.

Yang penting dalam mata rantai induksi-deduksi ini, harus mengetahui norma dasar, sehingga bila argumen dapat bertentangan dapa menguji argumen untuk menentukan kesalahan dan kemudian dapat memperbaikinya.


BERPIKIR INDUKTIF DAN DEDUKTIF

BAB I
Pendahuluan
Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi – proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut menalar.
Dalam penalaran, proposisi dijadikan sebagai dasar penyimpulan yang disebut dengan premis (antesedens) dan hasil kesimpulannya disebut konklusi (consequence). Hubungan antara premis dan konklusi disebut konsekuensi.
Dalam pertemuan sebelumnya kita telah membahas dan mendiskusikan tentang dasar dalam proses penalaran sebagai landasan berargumentasi yang meliputi inferensi, implikasi, evidensi serta cara untuk menilai fakta dan evidensi dalam berargumentasi. Maka kini akan dibahas mengenai proposisi yang lebih terperinci sebagai sebuah landasan dalam menyusun kesimpulan yang dapat diterima oleh akal sehat. Dalam makalah ini juga akan dijelaskan mengenai beberapa macam corak penalaran yang dipakai sebagai alat argumentasi. Secara garis besar makalah ini membahas tentang berpikir induktif dan deduktif.
Induksi adalah suatu proses berpikir yang bertolak dari satu arah atau sejumlah fenomena individual untuk menurunkan suatu kesimpulan (inferensi). Proses penalaran yang induktif dapat dibedakan atas bermacam-macam variasi yang akan dijelaskan lebih lanjut yaitu berupa generalisasi, hipotesis dan teori, analogi induktif, kausal, dan sebagainya.
Deduksi merupakan suatu proses berpikir (penalaran) yang bertolak dari suatu proposisi yang telah ada menuju kepada proposisi baru yang akan membentuk kesimpulan. Dalam induksi, untuk menarik kesimpulan, maka penulis harus mengumpulkan bahan – bahan atau fakta – fakta terlebih dahulu. Sementara dalam penulisan deduktif penulis tidak perlu mengumpulkan fakta – fakta itu, karena yang diperlukan penulis hanyalah suatu proposisi umum dan proposisi yang bersifat mengidentifikasi suatu peristiwa khusus yang berhubungan dengan proposisi umum tadi. Bila identifikasi yang dilakukan benar dan proposisinya benar,maka dapat diharapkan bahwa kesimpulannya pun akan benar.
BAB II
INDUKSI
2.1 Pengertian Induksi
Induksi adalah suatu proses berpikir yang bertolak dari satu atau sejumlah fenomena individual untuk menurunkan suatu kesimpulan (inferensi). Metode berpikir induktif adalah metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Proses penalaran ini mulai bergerak dari penelitian dan evaluasi atas fenomena yang ada, maka disebut sebagai sebuah corak berpikir yang ilmiah karena perlu proses penalaran yang ilmiah dalam penalaran induktif.
Pengertian fenomena sebagai landasan induktif harus diartikan sebagai data maupun sebagai pernyataan-pernyataan yang tentunya bersifat factual. Sehingga induksi dapat berasal dari fenomena yang berbentuk fakta atau berbentuk pernyataan–pernyataan (proposisi-proposisi). Proses penalaran induktif dapat dibedakan lagi atas bermacam-macam variasi yaitu: generalisasi, hipotesa dan teori, analogi induktif, kausal, dll.
2.2 Generalisasi
Generalisasi adalah suatu proses penalaran yang bertolak belakang dari sejumlah fenomena individual untuk menurunkan suatu inferensi yang bersifat umum yang mencakup semua fenomena – fenomena itu. Generalisasi akan mempunyai makna penting, jika kesimpulan yang diturunkan dari fenomena tadi bukan saja mencakup semua fenomena itu, tetapi juga harus berlaku pada semua fenomena-fenomena lain yang sejenis yang belum diselediki.
Mengenai data atau fakta dalam pengertian fenomenal individual tadi, selalu terarah kepada pengertian mengenai sesuatu hal yang individual. Dalam kenyataannya data atau fakta yang dipergunakan itu sebenarnya merupakan generalisasi juga , yang tidak lain dari sebuah hasil penalaran yang induktif.
Contoh : bila seseorang berkata bahwa mobil adalah semacam kendaraan pengangkut, maka pengertian mobil dan kendaraan pengangkut merupakan hasil generalisasi juga. Dari bermacam-macam tipe kendaraan dengan ciri-ciri tertentu ia mendapatkan sebuah gagasan mengenai mobil, sedangkan dari bermacam-macam alat untuk mengangkut sesuatu lahirlah abstraksi yang lebih tinggi (generalisasi lagi) mengenai kendaraan pengangkut.
Contoh lainnya:
(1)   jika dipanaskan, besi memuai.
(2)   Jika dipanaskan, tembaga memuai.
(3)   Jika dipanaskan, emas memuai.
(4)   Jika dipanaskan, platina memuai
(5)   Jadi, jika dipanaskan, logam memuai.
Generalisasi sendiri dapat dibedakan menjadi loncatan induktif dan bukan loncatan induktif.
  1. Loncatan induktif
Generalisasi yang bersifat loncatan induktif tetap bertolak dari beberapa fakta, namun fakta yang digunakan belum mencerminkan seluruh fenomena yang ada. Dengan demikian loncatan induktif dapat diartikan sebagai loncatan dari sebagian evidensi kepada seluruh suatu generalisasi yang jauh melampaui kemungkin yang diberi oleh evidensi-evidensi itu. Generalisasi semacam ini menagandung kelemahan dan mudah ditolak kalu terdapat evidensi-evidensi yang bertentangan. Tetapi jika sampel yang dipergunakan itu secara kualitatif kuat kedudukannya, maka generalisasi semacam itu juga akan kuat dan sahih sifatnya, apalagi jika bisa diperbanyak lagi fakta atau evidensi yang menunjang. Bila berdasarkan beberapa orang yang dijumpai suku A masih sangat terkebelakang, maka hal ini merupakan  contoh yang jelas mengenai loncatan induktif.
  1. Tanpa loncatan induktif
Sebuah generalisasi tidak mengandung loncatan induktif bila fakta-fakta yang diberikan cukup banyak dan meyakinkan, sehingga tidak terdapat peluang untuk menyerang kembali.
Oleh karena itu, perbedaan antara generalisasi dengan loncatan induktif dan tanpa loncatan induktif sebenarnya terletak dalam persoalan jumlah fenomena yang diperlukan. Sebenarnya generalisasi merupakan proses yang biasa dilakukan oleh setiap orang. Bagi orang kebanyakan, generalisasi itu tidak lain dari penambahan setengah sadar akan hal-hal umum berdasarkan pengalamannya dari hari ke hari. Bila suatu waktu ia mendapat hardikan dari atasannya karena membuat kesalahan, maka belum ada sikap yang timbul pada dirinya.
Tetapi bila peristiwa semacam itu dialaminya berulang-ulang kali, juga dialami oleh kawan-kawan lainnya, maka mau tidak mau akan timbul suatu generalisasi mengenai atasan itu: Atasannya adalah seorang yang kejam. Arus baliknya akan menimbulakan suatu sikap : karena atasan ini seseorang yang kejam, maka jangan membuat kesalahan kecil sekalipun, agar tadak mendapat umpatan dan hardikan yang tidak perlu.
Proses untuk merumuskan sebuah generalisasi dapat digambarkan dalam skema berikut:
Karena generalisasi itu sering mendahului observasi atas sejumlah peristiwa yang cukup meyakinkan, maka perlu diadakan pengecekan atau evaluasi atas generalisasi tersebut. Pengujian atau evaluasi tersebut terdiri dari:
  1. Harus diketahui apakah sudah cukup banyak jumlah peristiwa yang diselediki sebagai dasar generalisasi tersebut (ciri kuantitatif)
  2. Apakah peristiwa-peristiwa itu merupakan contoh yang baik (sampel yang baik :ciri kualitatifnya) bagi semua jenis peristiwa yang diselidiki? Dengan memilih peristiwa-peristiwa yang khusus, boleh dikatakan bahwa generalisasi itu akan kuat kedudukannya.
  3. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah memperhitungkan kekecualian-kekecualian yang tidak sejalan dengan generalisasi itu. Kekecualian itu harus diperhitungkan denagn dasar yang rasional dan pemikiran logis.
  4. Perumusan generalisasi itu sendiri juga harus absah.
2.3  Hipotesis dan teori
2.3.1 Hipotesis
Secara bahasa hipotesis berasal dari dua kata, yaitu hypo artinya sebelum dan thesis artinya pernyataan atau pendapat. Secara istilah hipotesis adalah suatu pernyataan yang pada waktu diungkapkan belum diketahui kebenarannya, tetapi memungkinkan untuk diuji dalam kenyataan empiris. Karena hipotesis merupakan pernyataan sementara yang masih lemah kebenarannya.
Dalam penggunaannya sehari-hari hipotesa ini sering juga disebut dengan hipotesis, tidak ada perbedaan makna di dalamnya.
Ketika berfikir untuk sehari-hari, orang sering menyebut hipotesis sebagai sebuah anggapan, perkiraan, dugaan, dan sebagainya. Hipotesis juga berarti sebuah pernyataan atau proposisi yang mengatakan bahwa diantara sejumlah fakta ada hubungan tertentu. Proposisi inilah yang akan membentuk proses terbentuknya sebuah hipotesis di dalam penelitian, salah satu diantaranya yaitu Penelitian sosial.
Proses pembentukan hipotesis merupakan sebuah proses penalaran, yang melalui tahap-tahap tertentu. Hal demikian juga terjadi dalam pembuatan hipotesis ilmiah, yang dilakukan dengan sadar, teliti, dan terarah. Sehingga dapat dikatakan bahwa sebuah Hipotesis merupakan satu tipe proposisi yang langsung dapat diuji.
Penetapan hipotesis dalam sebuah penelitian memberikan manfaat sebagai berikut:
1.  Memberikan batasan dan memperkecil jangkauan penelitian dan kerja penelitian.
2. Mensiagakan peneliti kepada kondisi fakta dan hubungan antar fakta, yang kadangkala hilang begitu saja dari perhatian peneliti.
3. Sebagai alat yang sederhana dalam memfokuskan fakta yang bercerai-berai tanpa koordinasi ke dalam suatu kesatuan penting dan menyeluruh.
4. Sebagai panduan dalam pengujian serta penyesuaian dengan fakta dan antar fakta.
- Ciri Hipotesis Yang Baik
Perumusan hipotesis yang baik dan benar harus memenuhi ciri-ciri sebagai berikut:
1. Hipotesis harus dinyatakan dalam bentuk kalimat pernyataan deklaratif, bukan kalimat pertanyaan.
2. Hipotesis berisi penyataan mengenai hubungan antar paling sedikit dua variabel penelitian.
3. Hipotesis harus sesuai dengan fakta dan dapat menerangkan fakta.
4. Hipotesis harus dapat diuji (testable). Hipotesis dapat duji secara spesifik menunjukkan bagaimana variabel-variabel penelitian itu diukur dan bagaimana prediksi hubungan atau pengaruh antar variabel termaksud.
5. Hipotesis harus sederhana (spesifik) dan terbatas, agar tidak terjadi kesalahpahaman pengertian.
Beberapa contoh hipotesis penelitian yang memenuhi kriteria yang tersebut di atas:
1. Olahraga teratur dengan dosis rendah selama 2 bulan dapat menurunkan kadar gula darah secara signifikan pada pasien IDDM.
2. Pemberian tambahan susu sebanyak 3 gelas per hari pada bayi umur 3 bulan meningkatkan berat badan secara signifikan.
- Jenis-Jenis Hipotesis
Penetapan hipotesis tentu didasarkan pada luas dan dalamnya serta mempertimbangkan sifat dari masalah penelitian. Oleh karena itu, hipotesispun bermacam-macam, ada yang didekati dengan cara pandang: sifat, analisis, dan tingkat kesenjangan yang mungkin muncul pada saat penetapan hipotesis.
  1. Hipotesis dua arah dan hipotesis satu arah
Hipotesis penelitian dapat berupa hipotesis dua-arah dan dapat pula berupa hipotesis satu-arah. Kedua macam tersebut dapat berisi pernyataan mengenai adanya perbedaan atau adanya hubungan.
Contoh hipotesis dua arah:
1. Ada perbedaan tingkat peningkatan berat badan bayi antara bayi yang memperoleh susu tambah 3 gelas dari ibu yang berperan ganda dan tidak berperan ganda.
2. Ada hubungan antara tingkat kecemasan dengan prestasi belajar siswa.
Hipotesis dua-arah memang kurang spesifik, oleh karena itu perlu diformulasikan dalam hipotesis satu-arah.
Contoh:
1. Terdapat perbedaan peningkatan berat badan bayi yang signifikan antara bayi yang memperoleh susu tambah 3 gelas dari ibu yang berperan ganda dan tidak berperan ganda.
2. Ada hubungan yang cukup kuat antara tingkat kecemasan siswa dengan prestasi belajar siswa.

- Hipotesis dalam penelitian

Penggunaan hipotesis dalam suatu penelitian didasarkan pada masalah atau tujuan penelitian. Dalam masalah atau tujuan penelitian tampak apakah penelitian menggunakan hipotesis atau tidak. Contohnya yaitu Penelitian eksplorasi yang tujuannya untuk menggali dan mengumpulkan sebanyak mungkin data atau informasi tidak menggunakan hipotesis. Hal ini sama dengan penelitian deskriptif, ada yang berpendapat tidak menggunakan hipotesis sebab hanya membuat deskripsi atau mengukur secara cermat tentang fenomena yang diteliti tetapi ada juga yang menganggap penelitian deskriptif dapat menggunakan hipotesis. Sedangkan, dalam penelitian penjelasan yang bertujuan menjelaskan hubungan antar-variabel adalah keharusan untuk menggunakan hipotesis.
Fungsi penting hipotesis di dalam penelitian, yaitu:
  1. Untuk menguji teori,
  2. Mendorong munculnya teori,
  3. Menerangkan fenomena sosial,
  4. Sebagai pedomanuntuk mengarahkan penelitian,
  5. Memberikan kerangka untuk menyusun kesimpulan yang akan dihasilkan.

- Tahap-tahap pembentukan hipotesis secara umum

tahap-tahap pembentukan hipotesa pada umumnya sebagai berikut:
  1. Penentuan masalah.
Dasar penalaran ilmiah ialah kekayaan pengetahuan ilmiah yang biasanya timbul karena sesuatu keadaan atau peristiwa yang terlihat tidak atau tidak dapat diterangkan berdasarkan hukum atau teori atau dalil-dalil ilmu yang sudah diketahui. Dasar penalaran pun sebaiknya dikerjakan dengan sadar dengan perumusan yang tepat. Dalam proses penalaran ilmiah tersebut, penentuan masalah mendapat bentuk perumusan masalah.
  1. Hipotesis pendahuluan atau hipotesis preliminer (preliminary hypothesis).
Dugaan atau anggapan sementara yang menjadi pangkal bertolak dari semua kegiatan. Ini digunakan juga dalam penalaran ilmiah. Tanpa hipotesa preliminer, observasi tidak akan terarah. Fakta yang terkumpul mungkin tidak akan dapat digunakan untuk menyimpulkan suatu konklusi, karena tidak relevan dengan masalah yang dihadapi. Karena tidak dirumuskan secara eksplisit, dalam penelitian, hipotesis priliminer dianggap bukan hipotesis keseluruhan penelitian, namun merupakan sebuah hipotesis yang hanya digunakan untuk melakukan uji coba sebelum penelitian sebenarnya dilaksanakan. Pengumpulan fakta. Dalam penalaran ilmiah, diantara jumlah fakta yang besarnya tak terbatas itu hanya dipilih fakta-fakta yang relevan dengan hipotesa preliminer yang perumusannya didasarkan pada ketelitian dan ketepatan memilih fakta.
-          Formulasi hipotesa.
Pembentukan hipotesa dapat melalui ilham atau intuisi, dimana logika tidak dapat berkata apa-apa tentang hal ini. Hipotesa diciptakan saat terdapat hubungan tertentu diantara sejumlah fakta. Sebagai contoh sebuah anekdot yang jelas menggambarkan sifat penemuan dari hipotesa, diceritakan bahwa sebuah apel jatuh dari pohon ketika Newton tidur di bawahnya dan teringat olehnya bahwa semua benda pasti jatuh dan seketika itu pula dilihat hipotesanya, yang dikenal dengan hukum gravitasi.
-          Pengujian hipotesa.
artinya mencocokkan hipotesa dengan keadaan yang dapat diobservasi dalam istilah ilmiah hal ini disebut verifikasi(pembenaran). Apabila hipotesa terbukti cocok dengan fakta maka disebut konfirmasi. Terjadi falsifikasi(penyalahan) jika usaha menemukan fakta dalam pengujian hipotesa tidak sesuai dengan hipotesa, dan bilamana usaha itu tidak berhasil, maka hipotesa tidak terbantah oleh fakta yang dinamakan koroborasi(corroboration). Hipotesa yang sering mendapat konfirmasi atau koroborasi dapat disebut teori.
-          Aplikasi/penerapan
apabila hipotesa itu benar dan dapat diadakan menjadi ramalan (dalam istilah ilmiah disebut prediksi), dan ramalan itu harus terbukti cocok dengan fakta. Kemudian harus dapat diverifikasikan/koroborasikan dengan fakta.

2.3.2 Teori

Teori adalah serangkaian bagian atau variabel, definisi, dan dalil yang saling berhubungan yang menghadirkan sebuah pandangan sistematis mengenai fenomena dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan maksud menjelaskan fenomena alamiah.
Teori juga merupakan suatu hipotesis yang telah terbukti kebenarannya. Manusia membangun teori untuk menjelaskan, meramalkan, dan menguasai fenomena tertentu misalnya, benda-benda mati, kejadian-kejadian di alam, atau tingkah laku hewan. Sering kali, teori dipandang sebagai suatu model atas kenyataan. Misalnya : apabila kucing mengeong berarti minta makan.
-          Hubungan antara hipotesis dengan teori
Hipotesis ini merupakan suatu jenis proposisi yang dirumuskan sebagai jawaban tentatif atas suatu masalah dan kemudian diuji secara empiris. Sebagai suatu jenis proposisi, umumnya hipotesis menyatakan hubungan antara dua atau lebih variabel yang di dalamnya pernyataan-pernyataan hubungan tersebut telah diformulasikan dalam kerangka teoritis. Hipotesis ini, diturunkan, atau bersumber dari teori dan tinjauan literatur yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti.
Oleh karena itu teori yang tepat akan menghasilkan hipotesis yang tepat untuk digunakan sebagai jawaban sementara atas masalah yang diteliti atau dipelajari dalam penelitian. Dalam penelitian kuantitatif peneliti menguji suatu teori. Untuk meguji teori tersebut, peneliti menguji hipotesis yang diturunkan dari teori.
2.4 Analogi
Analogi dalam bahasa Indonesia adalah kias (Arab: Qasa=mengukur, membandingkan). Analogi adalah suatu perbandingan yang mencoba membuat suatu gagasan terlihat benar dengan cara membandingkannya dengan gagasan lain yang mempunyai hubungan dengan gagasan yang pertama.
Analogi merupakan salah satu teknik dalam proses penalaran induktif. Sehingga analogi kadang-kadang disebut juga sebagai analogi induktif, yaitu proses penalaran dari satu fenomena menuju fenomena lain yang sejenis kemudian disimpulkan bahwa apa yang terjadi pada fenomena yang pertama akan terjadi juga pada fenomena yang lain.
Tujuan :
1.   Membantu seseorang menambah dan mempercepatkan kefahaman tentang sesuatu perkara.
2.  Membuat justifikasi   terhadap rumusan yang dibuat berdasarkan persefahaman antara satu objek dengan yang lain.
3. Untuk menonjolkan ciri am yang terdapat pada objek-objek tersebut.
4.  Memungkinkan seseorang mencipta analogi sendiri.
2.4.1       Macam-macam analogi
a. Analogi Induktif
Analogi induktif, yaitu analogi yang disusun berdasarkan persamaan yang ada pada dua fenomena, kemudian ditarik kesimpulan bahwa apa yang ada pada fenomena pertama terjadi juga pada fenomena kedua. Analogi induktif merupakan suatu metode yang sangat bermanfaat untuk membuat suatu kesimpulan yang dapat diterima berdasarkan pada persamaan yang terbukti terdapat pada dua barang khusus yang diperbandingkan. Misalnya, Tim Uber Indonesia mampu masuk babak final karena berlatih setiap hari. Maka tim Thomas Indonesia akan masuk babak final jika berlatih setiap hari.
b. Analogi Deklaratif
Analogi deklaratif merupakan metode untuk menjelaskan atau menegaskan sesuatu yang belum dikenal atau masih samar, dengan sesuatu yang sudah dikenal. Cara ini sangat bermanfaat karena ide-ide baru menjadi dikenal atau dapat diterima apabila dihubungkan dengan hal-hal yang sudah kita ketahui atau kita percayai. Misalnya, untuk penyelenggaraan negara yang baik diperlukan sinergitas antara kepala negara dengan warga negaranya. Sebagaimana manusia, untuk mewujudkan perbuatan yang benar diperlukan sinergitas antara akal dan hati.
Contoh Analogi :
1. Badannya kurus macam lidi
2. Benda itu bujur macam telur
3. Bangunan di Kuala Lumpur tumbuh macam cendawan
4. Kanak-kanak itu lapar seperti anak burung yang kehilangan ibu.
5. Orang itu garang macam harimau.
2.5 Hubungan Kausal
Hubungan kausal sering diartikan sebagai penalaran yang diperoleh dari gejala-gejala yang saling berhubungan, hubungan sebab – akibat (hubungan kausal) dapat berupa sebab yang sampai kepada kesimpulan yang merupakan akibat atau sebaliknya. Pada umumnya hubungan sebab akibat dapat berlangsungdalam tiga pola, yaitu sebab ke akibat, akibat ke sebab, dan akibat ke akibat. Namun, pola yang umum dipakai adalah sebab ke akibat dan akibat ke sebab. Ada 3 jenis hubungan kausal, yaitu:
(1). Hubungan sebab-akibat.
Yaitu dimulai dengan mengemukakan fakta yang menjadi sebab dan sampai kepada kesimpulan yang menjadi akibat. Pada pola sebab ke akibat sebagai gagasan pokok adalah akibat, sedangkan sebab merupakan gagasan penjelas.
Contoh:
Anak-anak berumur 7 tahun mulai memasuki usia sekolah. Mereka mulai mengembangkan interaksi social dilingkungan tempatnya menimba ilmu. Mereka bergaul dengan teman-teman yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Dengan demikian, berbagai karakter anak mulai terlihat karena proses sosialisasi.
(2). Hubungan akibat-sebab
Yaitu hubungan yang dimulai dengan fakta yang menjadi akibat, kemudian dari fakta itu dianalisis untuk mencari sebabnya.
Contoh:
Dalam bergaul anak dapat berprilaku aktif. Sebaliknya, ada pula anak yang masih malu-malu dan selalu dan mengandalkan temannya. Namun, tidak dapat di pungkiri jika ada anak yang selalu mambuat ulah. Hal ini disebabkan oleh interaksi sosial yang dilakukan anak ketika memasuki usia sekolah.
(3). Hubungan sebab-akibat1-akibat2
Yaitu dimulai dari suatu sebab yang dapat menimbulkan serangkaian akibat. Akibat pertama berubah menjadi sebab yang menimbulkan akibat kedua. Demikianlah seterusnya hingga timbul rangkaian beberapa akibat.
Contoh.
Mulai tanggal 2 april 1975 harga berbagai jenis minyak bumi dalam negeri naik. Minyak tanah, premium, solar, diesel, minyak pelumas, dan lain-lainnya dinaikan harganya, karena pemerintah ingin mengurangi subsidinya, dengan harapan supaya ekonomi Indonesia makin wajar. Karena harga bahan baker naik, sudah barang tentu biaya angkutanpun akan naik pula. Jika biaya angkutan naik, harga barang pasti akan ikut naik, karena biaya tambahan untuk transport harus diperhitungkan. Naiknya harga barang akan terasa berat untuk rakyat. Oleh karena itu, kenaikan harga barang dan jasa harus diimbangi dengan usaha menaikan pendapatan rakyat.
2.6 Induksi dalam metode eksposisi
Eksposisi adalah salah satu jenis pengembangan paragraf dalam penulisan yang dimana isinya ditulis dengan tujuan untuk menjelaskan atau memberikan pengertian dengan gaya penulisan yang singkat, akurat, dan padat.
Karangan ini berisi uraian atau penjelasan tentang suatu topik dengan tujuan memberi informasi atau pengetahuan tambahan bagi pembaca. Untuk memperjelas uraian, dapat dilengkapi dengan grafik, gambar atau statistik. Sebagai catatan, tidak jarang eksposisi ditemukan hanya berisi uraian tentang langkah/cara/proses kerja. Eksposisi demikian lazim disebut paparan proses.
Langkah menyusun eksposisi:
• Menentukan topik/tema , Menetapkan tujuan,  Mengumpulkan data dari berbagai sumber, Menyusun kerangka karangan sesuai dengan topik yang dipilih
• Mengembangkan kerangka menjadi karangan eksposisi.
BAB III
DEDUKSI
3.1 Pengertian Deduksi
Kata deduksi berasal dari bahasa latin yang artinya menghantar dari suatu hal ke hal yang lain. Sebagai suatu istilah penalaran, deduksi adalah suatu proses penalaran (berpikir) yang bertolak dari proposisi yang telah ada yang menuju sebuah proposisi baru yang menjadi sebuah kesimpulan. Metode berpikir deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus. Adapun berbagai macam corak berpikir deduktif adalah silogisme kategorial, silogisme hipotesis, silogisme disjungtif, atau silogisme alternative, entimem, rantai deduksi dan sebagainya.
3.2. Silogisme Kategorial
3.2.1 Pengertian
Silogisme adalah suatu bentuk penalaran yang berusaha menghubungkan dua proposisi (pernyataan) yang berlainan untuk menurunkan suatu kesimpulan atau inferensi yang merupakan proposisi yang ketiga. Kedua proposisi yang pertama disebut dengan premis.
Silogisme kategorial dibatasi sebagai suatu argument deduktif yang mengandung suatu rangkaian yang terdiri dari tiga (dan hanya tiga) proposisi kategorial, yang disusun menjadi tiga term yang muncul dalam rangkaian pernyataan itu, dan tiap term hanya boleh muncul dalam dua pernyataan, misalnya:
(1)   Semua karyawan adalah PNS.
(2)   Semua PNS adalah peserta Jamsostek.
(3)   Jadi, semua karyawan adalah peserta Jamsostek.
Dalam rangkaian diatas terdapat tiga proposisi: (1) + (2) + (3). Dalam contoh ini rangkaian kategorial hanya terdapat dalam tiga term, dan tiap term muncul dalam dua proposisi. Term preidkat dari konklusi adalah term mayor dari seluruh silogisme itu. Sedangkan subyek dari konklusinya disebut term minor dari silogisme. Sementara term yang muncul dalam kedua premis namun tidak muncul dalam kesimpulan disebut premis tengah.
3.3 Proposisi Silogisme
Dalam seluruh silogisme hanya terdapat 3 term, yaitu term mayor, term minor dan term tengah, dan dalam silogisme hanya terdapat tiga proposisi, yaitu dua proposisi yang disebut premis dan sebuah proposisi yang disebut konklusi.
(1)   Premis Mayor
Premis yang mengandung term mayor dari silogisme itu. Premis mayor adalah proposisi yang dianggap bennar bagi semua anggota kelas tertentu. Dalam contoh sebelumnya yaitu ‘semua karyawan adalah PNS’.
(2)   Premis Minor
Premis yang mengandung term minor dari silogisme itu. Premis mnor adalah prposisi yang mengidentifikasi sebuah peristiwa (fenomena) yang khusus sebagai anggota dari kelas tadi. Dalam contoh adalah ‘semua PNS adalah peserta Jamsostek’
(3)   Kesimpulan
Proposisi yang mengatakan bahwa apa yang benar tentang seluruh kelas juga akan benar atau berlaku bagi anggota tertentu. Dalam hal ini, jika benar semua karyawan adalah PNS, maka semua karyawan yang adalah peserta jamsostek juga harus merupakann PNS.
Dalam silogisme diatas peserta jamsostek merupakan term tengah karena bertindak sebagai penghubung antara term mayor dan term minor.
Menguji kesahihan dan kebenarannya
Untuk menilai silogisme harus dibedakan terlebih dahulu dua pengertian yang sering dikacaukan yaitu kesahihan (validitas;keabsahan)  dssn kebenaran (truth). Validitas dari suatu silogisme semuanya tergantung dari bentuk logisnya, sedangkan semua kebenaran tergantung dari fakta-fakta yang mendukug seua pernyataan. Bentuk logis sebuah silogisme ditentukan oleh:
(1)   bentuk logis dari pernyataan-pernyataan kategorial alam silogisme.
(2)   Cara penyusunan term dalam masing-masing pernyataan.
Bentuk sebuah silogisme adalah fungsi dari modul dan figure dari silogisme tadi. Contoh :
Premis mayor : manusia adalah makhluk berakal budi.
Premis minor  : Alibaba adalah seorang manusia
Kesimpulan    : sebab itu, Alibaba adalah mkhluk berakal budi.
Dalam contoh diatas, figure silogismenya adalah: manusia – makhluk berakal budi, alibaba – manusia, dan alibaba – makhluk berakal budi.  Atau dengan symbol S – P, O – S, O – P. Jadi menyatakan silogisme sama dengan menyebutkan figure dan modusnya.
Premis mayor dapat dibentuk proposisi A, E, I atau O. Demikian pula premis minornya. Berarti dari kedua premis ini dapat diperoleh 4 x 4 kombinasi atau 16 kombinasi. Selanjutnya dari 16 konbinasi ini dapat diturunkan untuk setiap masing – masing kombinasi atau konklusi yang bias berbentuk proposisi A, E, I, atau O. Dengan demikian akan dihasilkan modus sebanyak 64 modus. Karena setiap modus memiliki kemungkinan 4 figur bentuk silogistis maka dihasilkan 256 bentuk silogistis yang belunm tentu valid dan memerlukan pengujian terlebih dahulu.
3.4 Silogisme Hipotesis
Silogisme hipotesis atau silogisme pengandaian adalah semacam pola penalaran deduktif yang mengandung hipotesa. Silogisme hipotesis bertolak dari suatu pendirian, bahwa ada kemungkinan apa yang disebut dalam proposisi itu tidak ada atau tidak terjadi. Premis mayornya mengandung pernyataan yang bersifat hipotesis. Oleh sebab itu rumus proposisi mayor silogisme ini adalah:
Jika P, maka Q
 Contoh 1:
Premis Mayor : Jika tidak turun hujan, maka Jazira akan pergi kencan.
Premis Minor   : Hujan turun
Konklusi          : Sebab itu Jazira tidak akan pergi kencan
Atau
Premis Mayor : Jika tidak turun hujan, maka Jazira akan pergi kencan.
Premis Minor   : Hujan tidak turun
Konklusi          : Sebab itu Jazira akan pergi kencan
Walaupun premis mayor bersifat hipotesis, premis minor dan konklusinya tetap bersifat kategorial. Premis mayor sebenarnya mengandung dua pernyataan kategorial, yang dalam contoh hujan tidak turun, dan Jazira akan pergi kencan. Bagian pertamanya disebut anteseden, sedangkan bagian keduanya disebut akibat.
Dalam silogisme hipotesis berasusmsi bahwa ‘kebenaran anteseden akan mempengaruhi kebenaran akibat; kesalahan anteseden akan mengakibatkan kesalahan pada akibatnya’.
3.1.3 Silogisme Alternatif
Jenis silogisme alternative biasa juga disebut dengan silogisme disjungtif, karena proposisi mayornya merupakan sebuah proposisi alternative, yaitu proposisi yang mengandung kemungkinan-kemungkinan atau pilihan. Sebaliknya proposisi minornya adalah proposisi kategorial yang menerima atau menolak salah satu alternatifnya. Konklusi silogisme ini tergantung pada premis minornya, jika premis minornya menerima satu alternative maka alternative lainnya akan ditolak; dan jika premis minornya menolak satu alternative maka alternatik lainnya akan diterima dalam konklusi.
Contoh :
Premis Mayor : Zian ada di sekolah atau di rumah.
Premis Minor   : Zian ada di sekolah
Konklusi          : Sebab itu, Zian tidak ada dirumah
Secara praktis kita juga sering bertindak seperti itu. Untuk menetapkan sesuatu atau menemukan sesuatu secara sistematis kita bertindak sesuai dengan pola silogisme alternative diatas.
2.3 Entimem
Silogisme sebagai suatau cara untuk menyatakan pikiran tampaknya bersifat artificial. Dalam kehidupan sehari-hari biasanya silogisme itu muncul hanya dengan dua proposisi, salah satunya dihilangkan. Walaupun dihilangkan,proposisi itu tetap dianggap ada dalam pikiran dan dianggap diketahui pula oleh orang lain. Bentuk semacam ini dinamakan entimem (dari enthymeme>enthymema,yunani. Kata itu berasal dari kata kerja enthymeisthai yang berarti ‘simpan dalam ingatan’). Entimen adalah penalaran deduksi secara langsung.
Misalnya sebuah silogisme asli akan dinyatakan oleh seoarang pengasuh ruangan olahraga dalam sebuah harian sebagai berikut:
Premis mayor  : Siapa saja yang dipilih mengikuti pertandingan Thomas Cup adalah seorang pemain kawakan.
Premis minor   : Rudy Hartono terpilih untuk mengikuti pertandingan Thomas Cup
Konklusi          : Sebab itu Rudy Hartono adalah seorang pemain (bulu tangkis) kawakan.
Bila pengasuh ruangan olahraga menulis seperti diatas dan semua gaya tulisan sehari-hari mengikuti corak tersebut, maka akan dirasakan bahwa tulisannya terlalu kaku. Sebab itu ia akan mengambil bentuk lain, yaitu entimem. Bentuk itu akan berbunyi,”Rudi Hartono adalah seorang pemain bulu tangkis kawakan, karena terpilih untuk mengikuti pertandingan Thomas Cup.”
Contoh lain:
Silogisme
PU: Binatang mamalia melahirkan anak dan tidak bertelur.
PK: Ikan paus binatang binatang mamalia.
K : Ikan paus melahirkan anak dan tidak bertelur.
Entimen
Ikan paus melahirkan anak dan tidak bertelur karena termasuk binatang mamalia.
Contoh entimem :
  1. Premis mayor  : Semua orang yang membuat banyak penelitian adalah sarjana besar.
Premis minor   : Prof. Hasan membuat banyak penelitian.
Konklusi          : Sebab itu, Prof.Hasan adalah seorang sarjana besar.
  1.  Premis mayor : Semua sarjana yang besar membuat banyak penelitian.
Premis minor   : Prof. Hasan adalah seorang sarjana besar.
Konklusi          : Sebab itu, Prof. Hasan membuat banyak penelitian .
Dengan mengembalikan entimem 1 dan 2 kebentuk silogismenya tampak bahwa proposisi yang dihilangkan itu adalah proposisi mayor. Dengan demikian proposisi minor dan konklusinya langsung dikaitkan dalam sebauh kalimat.
Penghilangan sebuah proposisi kadang-kadang dilakukan dengan sengaja, karena penulis atau pembicara mengetahui bahwa bila kita menilai dengan cermat premis-premis yang ada,kita akan menolak pendapatnya. Sebab itu pada waktu menghadapi sebuah entimem diragukan kebenarannya, maka salah satu premisnya juga duragukan kebenaranya. Kalu entimem ditolak,maka salah satu proposisinya ditolak kebenarannya.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dalam pembuatan proposisi argumentasi maka digunakan teknik – teknik penalaran dan pengujian data yang ada. Dari dua system yang telah dipaparkan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa bila kita membandingkan penalaran dalam induksi dan penalaran dalam deduksi, maka kesimpulan dari induksi mempunyai kemungkinan kebenaran, dan benar tidaknya proposisi itu tergantung pada kebenaran dari data yang dipergunakan.
Dalam penggunaan metode induksi, untuk membuat suatu kesimpulan penulis harus mengumpulkan data dan fakta yang terkait terlebih dahulu. Semakin banyak dan semakin baik kualitas datanya maka akan semakin mantap kesimpulan yang dihasilkan. Sedangkan dalam pembuatan proposisi dengan cara deduktif penulis tidak perlu mengumpulkan fakta-fakta yang ada, penulis hanya perlu suatu proposisi umum atau proposisi yang mampu mengidentifikasi suatu peristiwa khusus secara berkaitan dengan proposisi umum tadi.
Daftar Pustaka
http://id.wikipedia.org/wiki/Hipotesis (tgl akses  : 19 Feb 2011) http://id.wikipedia.org/wiki/Penalaran#Metode_deduktif (tgl akses  : 19 Feb 2011 )
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20100915043818AAxuA8k
(tgl akses : 19 Feb 2011)
http://www.scribd.com/doc/25095005/Contoh-Paragraf-Deduktif-Induktif
(tgl  : 19 Feb 2011)
http://elfalasy88.wordpress.com/2008/08/21/analogi/(tgl akses  : 19 Feb 2011)
http://id.wikipedia.org/wiki/Teori (tgl akses  : 19 Feb 2011)
http://id.wikipedia.org/wiki/Penalaran#Metode_deduktif (tgl akses  : 19 Feb 2011)
http://members.tripod.com/noriah_arahman/analogi.htm (tgl akses  : 19 Feb 2011)
Keraf, Gorys. Argumentasi dan Narasi. 1992. Jakarta: Gramedia
W.J.S.Poerwadarminta. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2006. Jakarta: Balai Pustaka.